Gelaran Indonesia Open 2025 baru saja usai dengan hasil yang mengecewakan bagi publik tuan rumah. Sebagai salah satu turnamen bulutangkis Super 1000 paling prestisius, harapan besar selalu disematkan pada para atlet Indonesia untuk berjaya di kandang sendiri. Namun, seperti yang terjadi di beberapa edisi sebelumnya, kali ini pun Indonesia harus puas nirgelar. Kekalahan di final ganda putra menjadi sorotan utama, menimbulkan pertanyaan besar tentang kondisi bulutangkis Indonesia saat ini.
Hasil final Indonesia Open 2025 menunjukkan bahwa wakil Indonesia, pasangan ganda putra Sabar Karyaman Gutama/Moh Reza Pahlevi Istafani, harus mengakui keunggulan ganda putra Korea Selatan, Kim Won-ho/Seo Seung-jae. Meskipun sempat memimpin di gim pertama, mereka tak mampu mempertahankan momentum, yang pada akhirnya harus tumbang dalam tiga gim. Kemenangan Anders Antonsen (Denmark) di tunggal putra dan An Se-young (Korea Selatan) di tunggal putri menegaskan dominasi asing di Istora.
Kekalahan di Indonesia Open 2025 ini bukan kali pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, performa atlet Indonesia di turnamen kandang sendiri memang kerap menjadi perhatian. Banyak faktor yang disebut-sebut menjadi penyebab, mulai dari tekanan mental yang terlalu besar saat bermain di hadapan publik sendiri, hingga masalah konsistensi dan adaptasi strategi permainan yang kurang variatif. Ekspektasi tinggi justru menjadi beban bagi para atlet.
Salah satu analisis menyebutkan bahwa program latihan dan pembinaan yang ada perlu dievaluasi secara menyeluruh. Meskipun Indonesia memiliki banyak talenta, pengembangan atlet nampaknya belum mampu mengimbangi kecepatan inovasi dan kekuatan lawan dari negara-negara bulutangkis lain seperti Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, dan Denmark. Mereka terus berbenah dengan sport science dan mental yang lebih tangguh.
Selain itu, faktor regenerasi juga patut menjadi sorotan pasca Indonesia Open 2025. Banyak atlet senior yang performanya mulai menurun, sementara atlet muda belum sepenuhnya siap mengambil alih tongkat estafet. Transisi ini membutuhkan waktu dan program yang lebih terstruktur, tidak hanya mengandalkan bakat alami, tetapi juga dukungan sistem yang komprehensif, mulai dari pelatihan fisik, psikis, hingga nutrisi.